DaerahSeni & Budaya

Penobatan Pangeran Cevi Tuai Polemik, Ketua Umum Lembaga Adat Angkat Bicara

0

REPORTASE9.ID – Ketua Umum Lembaga Adat/Pemangku Kerajaan Pulau Laut Borneo Tenggara Pesisir Kalimantan Selatan angkat bicara terkait Pelantikan Sultan Banjar Cevi Yusuf Isnendar yang dilaksanakan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon menuai dan memicu banyak kritik serta polemik.

Hal tersebut dikarenakan pelantikan yang dilaksanakan tersebut tak hanya menimbulkan tanda tanya dari kepengurusan, lembaga adat, tetapi juga menjadi perhatian dari Dewan Kepengurusan Pusat Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (DPP FSKN) yang sangat menyayangkan terjadinya kejadian seperti ini.

Sebagaimana dikatakan Ketua Umum Lembaga Adat/Pemangku Kerajaan Pulau Laut Borneo Tenggara Pesisir Kalimantan Selatan, H. Gusti Rendy Firmansyah pelantikan Pangeran Cevi sebagai Sultan Budaya, yang baru-baru saja dilaksanakan di Jakarta perlu dikaji kembali dengan memperhatikan serta memahami konteks kerajaan maupun kesultanan dalam kerangka NKRI.

Dijelaskan Gusti Rendy, sebagaimana amanat dari Undang Undang Dasar nomor 45 pasal 18 B ayat 2 berbunyi Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, ada beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lebih lanjut, berdasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah dasar hukum yang mengatur pengelolaan kekayaan budaya Indonesia dan mengidentifikasi berbagai objek kebudayaan yang perlu dipelihara.

“Terkait dengan pelantikan tersebut, kita perlu melihat aspek historis bahwa Ratusan tahun sebelum lahirnya NKRI, dahulunya merupakan kumpulan dari banyak kerajaan, kesultanan, kedatuan dan Masyarakat Adat yang disebut wilayah Nusantara, bersama sama berjuang dalam menghadapi ekspansi kolonialisme penjajah bangsa asing. Namun pada satu titik bersejarah yaitu proklamasi 17 Agustus 1945 lahirlah NKRI yang seluruh wilayah kerajaan, kesultanan dan kedatuan tersebut berdaulat, sehingga Founder Negara Indonesia Ir Soekarno mengambil semboyan Bhineka Tunggal Ika,” ujar Gusti Rendy.

Sehingga, Gusti Rendy menyebutkan polemik yang menjadi trending topic baru-baru terjadi karena ada penobatan Sultan Banjar kalimantan di Jakarta sehingga ada 2 Sultan Banjar dalam konteks pelestarian Budaya saat ini.

Sultan Banjar Pangeran Cevi yang baru dikukuhkan oleh Menteri Kebudayaan di Jakarta dan sementara Sultan Banjar Haji Khairul Saleh yang dilantik melalui prosesi adat oleh Dewan Mahkota Kesultanan Banjar yang beberapa dekade sudah berkiprah dalam pelestarian budaya sejarah banjar lebih dahulu.

“Tidak bisa kita pungkiri kasus seperti ini juga banyak terjadi di berbagai daerah kerajaan/kesultanan di provinsi lain di Indonesia. Semestinya penobatan/penabalan seorang Raja/Sultan seyogyanya tetap memakai tradisi leluhur yang sakral sesuai ke arifan lokal wilayah adatnya masing-masing, baik itu adanya perangkat adat, dewan adat dan di hadiri masyarakat adat serta dilaksanakan tetap di wilayah dimana adat budaya tersebut berada,” tegas Gusti Rendy.

Dirinya berharap meski kejadian ini menjadi polemik para lembaga adat dan masyarakat tetap menyikapi dengan pikiran jernih, karena tugas seorang zuriyat/keturunan adalah tugas berat, seorang Raja/Sultan harus memberi contoh suri tauladan baik bagi masyarakat adatnya, baik tindakan dan tingkah lakunya.

Mengutamakan kepentingan masyarakat adatnya diatas kepentingan pribadi, menjaga marwah nama leluhurnya sebagai cerminan orang yang menjadi panutan dalam konteks menjaga persatuan kesatuan sesama anak bangsa.

Sementara itu, hal senada juga disampaikan Salah satu dewan Musyawarah Adat Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut, YM Aida Fitria Kusuma menyatakan, bahwa layaknya penobatan seorang sultan notabennya dia masih memiliki keraton sebagai simbol marwah suatu masyarakat adat, meskipun dalam konteks Sultan untuk pemajuan dan pelestarian budaya.

“Akan tetapi yang terjadi sekarang (Penobatan Pangeran Chevi) sungguh ironis karena  pengangkatan seorang sultan tersebut dikukuhkan atau dilantik bukan dari tokoh adat/pemangku adat suatu wilayah hukum adat tersebut,” ungkap Aida Fitria Kusuma.

Comments

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

More in Daerah